Minggu, 03 Maret 2013

ANALISIS PUISI KUMPULAN SAJAK TJAHJONO WIDARMANTO KITAB KELAHIRAN



  1. Latar Belakang Masalah.
Tjahjono Widarmanto adalah putra seorang guru Sekolah Pendidikan Guru di kota Ngawi terlahir sebagai anak kembar pada tanggal 18 April 1969 menyelesaikan sarjananya di jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Surabaya tahun 1992. Sedangkan saudara kembarnya bernama Tjahjono Widijanto yang juga seorang penyair. Kini kedua-duanya mengajar di Sekolah Menengah Atas di Kab. Ngawi dan juga sebagai dosen  di STKIP PGRI Ngawi. Di sela-sela kesibukannya sebagai guru dan dosen ikut mendirikan majalah kebudayaan Lontar di Ngawi sekaligus menjadi salasatu redakturnya ( 1996-2004), ikut mendirikan Studi Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi dan aktif sebagai penggeraknya hingga sekarang. Menjadi pendiri ketua kelompok teater Zat Ngawi (1998 sampai sekarang)
 Prestasi atau pengalaman : pemenang Pertama lomba mengulas karya sastra tingkat nasional tahun 2002 yang diadakan oleh majalah sastra horizon, depdiknas dan ford foundation dengan judul majalah estetika bahasa dan kosmologi jawa dalam asmaradana karya goenawan muhamad. Pemenang kedua sayembara kritik sastra nasional dewan kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2005 dengan judul makalah cala ibi : novel kontemlatif meditative sufistik dari pulau ternate. Pada tahun 1996 diundang dewan kesenian Jakarta untuk membacakan karya puisi pada acara mimbar penyair abad 21 di taman ismail marzuki Jakarta. Pada tahun 2004 untuk kedua kalinya diundang kesenian Jakarta untuk membacakan karyanya di taman ismail marzuki dalam acara cakrawala sastra Indonesia 2005. pada tahun 2005 kembali diundang dewan kesenian jakartya untuk mengikuti symposium kritik seni sekaligus menerima penghargaan sebagai pemenang kedua sayembara kritik sastra nasional yang diadakan DKJ.
Pemenang kedua lomba mengulas karya sastra tahun 2005 (Depdiknas dan majalah horizon ) dengan judul makalah : konsep-konsep spiritualisme timur dalam kumpulan cerpen godlog karya danarto. Salah satu finalis lomba lingkungan hidup (PKLH) tingkat nasional tahun 2005 di Jakarta dengan judul makalah : membangun kota berwawasan humanisme ekologis.
Salah satu cerita pendeknya berjudul coro menjadi salahsatu nominasi LMCP ( lomba menulis cerita pendek) tahun 2003 yang diadakan oleh horizon dan depdiknas. Pada tahun 1996 dinobatkan sebagai salah satu penyair pilihan jawa timur versi bengkel muda Surabaya. 
Aktivitas dan produktivitas menulis puisi, esai, dan cerpen di berbagai jurnal majalah dan Koran di luar negeri dan dalam negeri antara lain jurnal perisa dewan bahasa dan pustaka Malaysia, bahana (Brunei darusalam), jurnal ulumul quran, jurnal puisi, jurnal perempuan, majalah perempuan, majalah horizon, kompas, media Indonesia, matra suara pembaharuan, matra, suara karya, jawa pos, Surabaya pos, surya, lampung pos, dan lain-lain.
Pada tahun 1988 mendirikan majalah kebudayaan iklim yang terbit di malang sekaligus menjadi salah satu redakturnya, (1989-1990). Aktif berteater bersama teater idiot malang dari tahun  1987-1994. ikut memprakarsai berdirinya majalah kebudayaan kalmias Surabaya dan menjadi salahsatu redakturnya (1992-1994).
Buku-buku yang dihasilkan puisi tak pernah pergi (kompas 2003), angkatan 2000 dalam sastra Indonesia (grasindo, 2000).ekstase jemari (1995;antologi tunggal), dunia tanpa alamat (DKJT, 2003, antologi tunggal) birahi hujan(dewan kesenian Jakarta dan logong pustaka 2004). Mimbar penyair abad 21 ( balai pustaka Jakarta 1995) bapakku telah pergi: antologi penyair pilihan jawa timur (surabaya, 1995) akulah ranting (dioma malang 1996) antologi cerpen dan puisi Indonesia modern: gerbang (pustwaka pelajar jogjakarta, 1997) memo putih (DKJT, 2000), Keajaiban Bulan Unggu (DKS,200), apa kabatr sastra ? kumpulan esai DKJT, 2002 ) tegak lurus dengan langit ( kumpulan artikel pemenang lomba mengulas karya sastra nasional , 2002) dunia bayang-bayang (Surabaya, 1995) antologi sastra kepulauan (DKSS:1999)
Di dalam makalah ini akan membahas tiga puisi dari kumpulan sajak Tahjono Windarmanto “Kitab Kelahiran “ antara lain Kitab Kelahiran dan panorama matamu; sebuah histirika perjalanan.

  1. Pembahasan
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan susunan dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Kedua struktur itu harus mempunyai kepaduan dalam mendukung totalitas puisi. Telaak ini menyangkut telaah unsure-unsur puisi dan berusaha membedah puisi sampai ke unsure-unsur yang sekecil-kecilnya. Setelah menelaah secara mendalam struktur puisi hingga ke unsure-unsurnya, laku kita sintesiskan  telaah tersebut. Begitu juga dengan puisi yang terdapat dalam kumpulan sajak Tjahjono Windarmanto “ Kitab Kelahiran “.
Dalam kumpulan sajak kitab kelahiran penyair banyak menuliskan tentang kelahiran, kehidupan dunia ini dan sampai pada kematian. Kata-kata penyair  yang langsung menyebut mati, ritual, roh, hantu, makam, kafan, surga.
               Berikut ini akan dikemukakan  dua nya beserta beserta telaahnya:

1). KITAB KELAHIRAN
1
                                                   jarak itu mulai disediakan untukmu
bersama sebuah kitab yang terbuak
berisi mantra-mantra dan dongeng tentang sebuah
               perjanjian
dan sekian rahasia
                           yang harus kau terka semenjak ibu bapamu
                                                               meniup ubun-ubun
                                                   dan merajah telapak tanganmu.
   maka, berjagalah pada setiap pintu dan jendela terbuka
jangan biarkan waktu mencurinya
                                                               juga pada tangis sendiri
jangan biarkan menuntunmu pada sepotong cermin atau
               foto leluhur
               berjagalah,
seperti para serdadu, yang berkemah di bibit kematiannya
               berjagalah
hingga di saat yang jauh akan kita jumpai seorang
               perempuan
rambutnya berkibar-kibar sampai laut selatan
di antara desahnya yang berliur-liur, berkata,

         “ aku telah baca kitabmu, juga potret telanjangmu! “

maka berhati-hatilah
saat ia bentangkan payudaranya, seraya berkata,
               “kemarilah akan kubisikkan makna rajah nasibmu
               hisap susuku, akan kutitipkan nafas padamu.”
semenjak itu kau harus berjalan jauh, membuat jalan
               setapak sendiri
dari sebuah senja ke arah gurun batu. Dari satu musim ke
               seribu musim lain
mengendong resahmu seperti musafir berjalan
               di panggung kuda tanpa pelana.
tanpa peta,  juga tidak dengan ramalan cuaca
                           di suatu titik yang jauh, barangkali tepat
                                                   di suatu malam
pada ceruk batu-batu di antara sungai yang kerontang
ketika putus asa dan kenangan bergantungan
gelap merapat pada pohon-pohon menjadi kalimat cemas
               yang mengalir

                           :kutukan ini jugakah tertulis pada kitab itu?

2

dahulu kakek-nenekmu pernah nembacakannya
                           --kitab itu—kelahiran yang menggendong
                                       dustanya sendiri
juga kecemasan yang sama buruknya dengan harapan
sama kosongnya dengan kemungkinan-kemungkinan
dan pada tiap bulan terakhir
kau akan menghitung berapa panjang jalan setapak itu
berapa banyak para lelaki memperkosa anak kandungnya
               sendiri
dan apa saja yang telah menggetarkan kabut itu
pada setiap taman yang dilewati
dibangku-bangku berdebu paling sudut
bacalah kembali kitab kumalmu

                                       --tandai tanggal kelahiran dan
                                                   persinggahan-persinggahan—
sebelum kau telan kelelahanmu
jangan sempatkan menitik air matamu
pada potong-potong kenangan
sebab semuanya telah jadi bangkai-bangkai hangus
sesudah kau hafalkan tanggal-tanggal itu
ikuti kembali bayang-bayang itu
sebagaimana telah disebutkan dalam kitabmu
mencari sebuah daratan
                                       mungkin benua
tempat peristiwa penciptaan mati dan kembali
               diulang-ulang
berakhir pada mula itu sendiri
mungkin sebuah perkawinan dan kematian yang tak
               putus-putus

berjalanlan terus sambil menghapal tanda dan tanggal itu
dan seperti yang lain kau tak akan bisa memberitakan
               sebuah alamatpun
semua harus kau bangun dank au ingat sendiri. Juga alamat-
               alamat
agar bisa meninggalkan pesan saat saban kali cuaca
               berganti
berangkatlah
ke arah yang tak kan bisa menunjukkan apapun
mungkin ada sebuah kafe atau ranjang batu
tempat melepas lelah setelah kau telan segenggam
               pil tidur


3
waspadalah,
perempuan itu masih saja mengikutimu
                                       dengan pusar dan payudara terbuka
                                                   paha dan bokong yang lapar
syahwat yang tersendat-sendat di urat kerongkongan

rambutnya tetap terurai meneteskan keringat birahi
                                                                           bau kamboja
tubuhnya bagai tembaga, berkilap-kilap
melambai-lambaikan tangan di setiap perempatan;
   hai, lelaki, bercumbulah sebentar, tubuhku peta firdaus
   penuh khuldi, buah yang membuat zakar kakekmu dulu
               berbau amis”

biarkan wanita itu dibakar birahinya sendiri
air matanya adalah dusta
dalam kitabmu sudah ditafsirkan sebagai sebuah kutuk
bernama cinta.                                                di situ akan tumbuh api
menghanguskan apa saja

dan kau tak akan terbebas darinya

biarkan perempuan itu membawa sejarahnya sendiri
lukanya sendiri, kesedihan yang diratapinya
dengan nyanyian-nyanyian
bunyi yang menjerat pemburu yang lengah
lelaki lemah yang kalah dengan gairah kelaminnya

4

berjalan terus ke utara
                                       kota paling ujung
tempat topan dan kemarau silih berganti
menganyam sarangnya dari sayap-sayap kabut

kota tanpa matahari
                     dalam kitabmu tertulis--benua terakhir--
tak punya ikan-ikan
                        hanya pohon mati dan nisan-nisan

dalam kitab tertulis--sangkar terakhir--
                      tempat kau bisa melihat maut begitu dekat
               sebuah ruang tidur para pengantin
                           tempat bercakap tentang gelap tak teraba

di situlah
semua pekat menyelimuti semua perjalanan
dalam kitabmu ditulis dengan tinta kelabu

                                                                           :mula semua akhir!

                                                                           Ngawi, 2002

               Dalam puisi diatas penyair menuliskannya perasaannya tentang kehidupan. Betapa kehidupan ini telah digariskan dengan menggunakan istilah “takdir”, mulai dari lahir, melakoni kehidupan yang penuh dengan variasi hidup, yang akhirnya berujung pada kematian. Semua yang hidup telah dituliskan demikian pada kitab kelahiran. Sementara hidup telah digariskan sedemikian rupa, “yang harus kau terka semenjak ibu bapamu meniup ubun-ubun dan merajah telapak tanganmu”.  Tetapi dalam kitab kelahiran juga banyak takdir buruk yang mengikuti dalam kehidupan,”maka berhati-hatilah, kutukan ini jugakah tertulis pada kitab itu?. Dalam perjalanan hidup anak manusia jika tidak mampu melawan kerusakan yang ada dalam jiwanya maka akan timbul kerusakan yang sangat besar,”tandai tanggal kelahiran dan persinggahan-persinggahan, waspadalah, dan kau tak akan terbebas darinya”. Lalu setelah hawa nafsu menguasai maka manusia akan melanjutkan berjalanan berikutnya yaitu “kematian” entah dengan takdir baik maupun takdir buruk yang akan membawa dirinya beristirahat, “dalam kitabmu tertulis sangkar terakhir, tempat kau bisa melihat maut dekat, sebuah ruang tidur para penganti, tentang bercakap tentang gelap tak teraba”. Di akhir kisah Tjahjono menuliskan sebuah kehidupan yang berakhir dengan kesenduan jika kita tak mampu membawa diri,”di situlah, semua pekat menyelimuti semua pejalan, dalam kitabmu ditulis dengan tinta kelabu, mula sebuah akhir”.

2) PANORAMA MATAMU;
     SEBUAH HISTORIKA PERJALANAN
                                       *) retorika buat dina arisandi

Bentangan panorama di matamu kusimak lewat
Warna kabut
Memucat sepeti sebuah gerimis tak kunjung reda
Panorama itu menyajikan slide-slide panjang
Dengan hipnonotis riuh mempesona. Ada pahatan
Wajahmu di sana
Juga deretan perempuan-perempuan yang lain
Dengan gigil senada

Aku terpesona, sekali lagi terpesona
Slide-slide panjang itu menyodorkan sepenggal rahasia
Tentang igauan yang panjang, tentang namamu
Juga deretan
Perempuan-perempuan lain terserak
Di neon-neon reklame
Di pusat plaza, hiruk pikuk toserba
Tercecer di deretan kotak-kotak parfum, lantas terpuruk
Pada hingar-bingar lantai diskotek

(Oo, pengembaraan mana lagi yang kau tuju?)

Namamu, juga perempuan-perempuan itu
Menari bugil dengan aroma lain, amat lain
Pamer bentangan paha, tonjolan payudara
Di poster-poster film
Berpacu dalam arena gincu dan persaingan iklan

( busyet! Tarian apa ini )

Di matamu slide-slide panjang itu masih terpampang
Namamu juga perempuan-perempuan itu, tercampak
Di sela-sela patahan ranting-ranting kering, daun busuk, dan
Sebatang  korek api yang telah menyala

Ah, tersenyumlah ( betapapun kabutnya perjalanan).

                                                                                      Surabaya-Ngawi, 1997


               Penyair menyatakan, betapa banyak wanita-wanita yang menjadi korban eksploitasi wanita, tetapi wanita-wanita itu tidak menyadarinya, bahkan bangga dengan apa yang di jalaninya. Kesedihan penyair melihat eksploitasi ini terlihat dari kalimat yang ada dalam puisinya, “dengan hipnotis riuh mempesona, ada pahatan wajahmu di sana, juga deretan perempuan-perempuan yang lain dengan gigilan senada”. Keterpesonaan pada wanita-wanita itu juga di gambarkan  penyair dengan banyaknya slide-slide wajah perempuan yang banyak terpampang di mana-mana hingga penyair mempertanyakan pengembaraan perempuan yang di eksploitasi,”Oo, pengembaraan mana lagi yang kau tuju?). sebuah historika perjalanan penyair melihat perempuan-perempuan yang sebetulnya teraniaya tetapi perempuan itu tiada merasa,”Ah, tersenyumlah (betepapun kabutnya perjalanan).
  1. Simpulan

Setiap penyair tak pernah puas pada sebuah titk, puisi sebagai dunia yang samara bagai sebuah ruang yang kosong yang setiap orang dapat menziarahi dan setiap kali pula dapat menandainya, juga mempertanyakannya, seperti mereka memaknai, menandai dan menanyai masa silam dan harapan masa depannya. Pada saat inilah puisi merupakan sebuah jagad tempat pertemuan . ruang yang setiap siapa saja dapat mempergunakan untuk berdialog tentang harapan-harapan, sekedar menatap.
Dua puisi Tjahjono Windarmanto di atas dapat mewakili perasaan penyair tentang kehidupan untuk di dialogkan dengan pembaca sehingga pembaca mempunyai harapan tentang kehidupan, walaupun bahasa-bahasa yang digunakan untuk menuliskan perasaannya dengan lambang-lambang tetapi karya puisi penyair dari ngawi tetap bisa dimaknai dan di ambil intisarinya, kitab kelahiran dan panorama matamu; sebuah retorika perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar